Cerita Banjir Desaku: Gugur Gunung

Wayae gugur gunung bikin tanggul nang kidule embong”. Demikian ajakan Pak RT di pagi buta selepas shalat Shubuh. Artinya Waktunya gugur gunung membuat tanggul di sebelah selatan desa. Saudaraku yang cowok kemudian bergegas berganti baju dan pergi ke lokasi yang telah disebutkan.

Kala debit air terus meningkat seperti sekarang ini, ajakan untuk gugur gunung sering kali terdengar. Waktunya tidak dapat diprediksi, bisa kapan saja. Kadang pagi-pagi sekali, kadang siang dan pernah juga pada malam hari. Saat ada air yang mengalir deras dari sungai pinggir desa, saat itulah permintaan ikut gugur gunung dilakukan. Kalau tidak dilakukan, air akan menggenang dan banjir tak dapat dielakkan.

Strategi Antisipasi Banjir Dengan Bikin Tanggul Darurat

Banjir pertama kali datang tanggal 10 April. Biasanya Bulan April sudah memasuki musim kemarau sehingga tidak ada antisipasi atau persiapan menghadapi banjir. Setelah air merendam beberapa pemukiman, termasuk rumahku, masyarakat mulai mengoperasikan pompa-pompa air. Kalau dulu cukup 1 pompa yang dioperasikan karena masih banyak terowongan air, sekarang harus menggunakan beberapa pompa dari satu RT ke RT lainnya. Air dari pemukiman dialirkan menuju rawa dan area persawahan.

Kondisi banjir di desa (April 2020)

Karena air dari pemukiman sudah terlalu banyak dan masih ditambah dengan kiriman air dari sungai Bengawan Solo, volume air di Rawa dan persawahan terus naik. Rawa dan sawah sudah tidak bisa lagi menampung banyaknya air. Maka kemudian pembuatan tanggul darurat menjadi langkah berikutnya untuk membebaskan pemukiman penduduk dari bencana banjir.

Pada postingan sebelumnya yang berjudul Pola Adaptasi Masyarakat Menghadapi Banjir sudah disebutkan masyarakat di desaku membangun bendungan atau tanggul-tanggul darurat menggunakan karung yang diisi tanah atau batuan pedel. Karung-karung ini disusun sedemikian rupa membentuk tanggul untuk menghalangi air masuk ke dalam pemukiman. Tumpukan karung ditempatkan di sepanjang batas pemukiman dan sungai. Karung-karung tersebut ditempatkan berjajar sepanjang batas pinggiran desa dan bertumpuk-tumpuk mengikuti ketinggian air.

Setelah dipompa dan dibuat tanggul di sekeliling desa, banjir di dalam pemukiman berangsur-angsur surut. Namun rumah atau pemukiman yang berada di pinggiran desa dan berbatasan langsung dengan sungai mau tidak mau tetap kebanjiran juga. Pemilik rumah sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena airnya tidak bisa dialirkan kemana-mana.

Banjir di dalam perkampungan mungkin hanya sekitar 3 sd 5 hari saja. Namun di daerah pinggir/perbatasan bisa berminggu-minggu, menunggu air surut. Pemilik rumah di perbatasan sebenarnya ingin protes kenapa rumahnya saja yang kebanjiran sedangkan rumah yang ditengah desa tidak ada airnya. Namun jika semua perkampungan terjebak banjir dan semua orang tidak bisa kemana-mana, maka perekonomian akan lumpuh. Untuk itu lebih baik mengalah dan mengikhlaskan saja demi kemaslahatan bersama.

Penyebab Banjir

 

Pembangunan tanggul darurat menggunakan karung dibuat secara swadaya dengan semangat gotong-royong. Saat air sudah terlihat naik dan luapannya tidak tertampung lagi, Ketua RT akan memberikan intruksi melalui pengeras suara atau kadang datang ke rumah penduduk untuk mengajak gugur gunung membuat tanggul.

Makna Gugur Gunung alias Gotong-royong

Gugur artinya runtuh, gunung adalah dataran yang menjulang tinggi. Waktu kecil dulu, saya sempat mengira kalau makna gugur gunung itu adalah sebuah upaya meruntuhkan gunung bersama-sama sebagai upaya untuk mencegah banjir. Gunung dalam bayangan saya waktu kecil adalah gunung batu pedel yang berada di arah utara wilayah Kalitengah. Berdasarkan pemaham saya yang masih polos saat itu, letak Bengawan Solo berada di bagian Utara, gunung batu pedel juga berada di Utara. Jadi para lelaki dewasa berbondong bondong pergi ke arah utara untuk meruntuhkan gunung dan membuat air tidak masuk desa.

Ternyata eh ternyata, pemahaman saya waktu kecil salah. Saya tidak pernah melihat langsung bagaimana mana upaya para lelaki saat gugur gunung. Baru beberapa tahun kemudian saya memahaminya. Gugur gunung adalah istilah lain dari kerja bakti dan gotong royong. Istilah gugur gunung merupakan istilah warisan dari nenek moyang di sekitaran Jawa Tengah, DIY, dan sebagian Jawa Timur. Dalam kamus bahasa Indonesia gugur gunung dapat dipahami sebagai kerja bakti atau gotong royong. Perbedaannya hanya pada praktek rielnya.

Gugur gunung lebih mengacu kepada arti yang lebih aktif yaitu bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan bersama dalam kurun waktu yang ditentukan. Dalam hal ini adalah membuat tanggul untuk menghalau banjir. Sedangkan gotong royong mengacu kepada sifat kebersamaan yang dihasilkan dari bekerja secara bersama-sama. Bisa tolong- menolong, bantu-membantu dalam berbagai hal.

Gugur Gunung Bikin Tanggul

Saat terjadi banjir, gugur gunung membuat tanggul disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Tiap RT berbeda lokasi pengerjaannya. Ada titik-titik tertentu yang menjadi tanggung jawab dan tugas masing-masing RT. Setiap orang atau tiap kepala keluarga harus stanby setiap saat kala musim banjir seperti sekarang ini. Kapanpun ada laporan kebocoran tanggul atau ada laporan luberan banjir harus siap untuk gugur gunung bikin tanggul.

Gugur gunung bikin tanggul

Pada masa sekarang memang tidak dapat dipungkiri tidak semua orang ikhlas ikut gugur gunung. Mereka ini biasanya adalah orang yang rumahnya sudah tinggi dan tidak mungkin kebanjiran. Namun karena sungkan dengan tetangga dan rasa solidaritas yang tinggi, pada akhirnya tetap berangkat juga untuk gugur gunung. Biasanya satu keluarga diwakili oleh satu orang. Namun bisa saja satu keluarga semua penghuni laki-laki ikut serta mencari pahala.

Bagi yang tidak memiliki keluarga laki-laki atau yang salah satu keluarganya tidak bisa ikut gugur gunung, wujud sumbangsih mereka tidak berupa tenaga. Mereka kadang ikut sumbang tanah, karung atau makanan/minuman sebagai konsumsi yang ikut gugur gunung. Masyarakat desa masih menjunjung tinggi rasa solidaritas dan kebersamaan melalui berbagai kegiatan.

Baca juga cerita Banjir di Desaku :
1. Penyebab Banjir di Desaku
2. Ikan Tak Beridentitas

Munasya

Blogger, Writer and Teacher Contact Person : email : sy4r0h@gmail.com Twitter : @Munasyaroh_fadh IG. : @Muns_Fadh

2 komentar di “Cerita Banjir Desaku: Gugur Gunung

  1. Di desaku, Gugur Gunung namanya kerigan. Sebutan umunya adalah gotong royong. Gugur gunung merupakan tradisi desa yang cukup ampuh untuk mengatasi bencana alam, atau bencana lain. Dari dulu tradisi ini sudah teruji. Di desa saya, yang kebetulan di lewati Sungai Terbesar di Purbalingga, juga biasanya menggunakan tanah atau batu basir yang dimasukan ke dalam karung untuk membuat tanggul.

Tinggalkan Balasan ke Munasya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Content is protected !!