Teori Umum Kekuasaan dan Politik

Teori Umum kekuasaan dan politik. Beberapa ahli menghubungkan suatu kekuasaan sebagai inti dari politik. Politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Perjuangan kekuasaan (power struggle) mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Berikut ini adalah beberapa devinisi mengenai kekuasaan dan politik yang dihubungkan dengan kajian ilmu politik.

Deliar Noer (dalam Budiarjo, 2004: 10) menyatakan bahwa ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan ini tidak sebatas pada bidang hukum atau negara semata diluar itu, kekuasaan itu telah ada. Hanya saja pada zaman modern ini kekuasaan berhubungan erat dengan Negara.

Menurut Harold D. Laswel dan A. Kaplan, ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat. Sedangkan W. A Robinson menyatakan bahwa ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas nama orang lain atau menentang kekuasaan itu (Budiarjo, 2004: 10).

Ossip K. Flectheim (dalam Budiarjo, 2004: 11) menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan Negara, dimana Negara merupakan organisasi kekuasaan beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tidak resmi yang dapat mempengaruhi Negara. Flectheim juga menekankan behwa kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain dan bergantung satu sama lain.

Kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat peda umumnya (Surbakti, 2010: 73). Pendekatan mengenai kekuasaan dengan politik ini banyak terpengaruh oleh sosiologi karena lebih luas ruang lingkupnya dan juga menyangkup gejala-gejala sosial seperti serikat buruh, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan dan kaum militer. Dia lebih dinamis daripada pendekatan institusional karena memperhatikan proses.

Diantara banyak bentuk kekuasaan, ada suatu bentuk yang penting yang penting yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengauhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dngan tujuan-tujuan pemegang ketakuasaan sendiri (Budiarjo, 2004: 37).

Kekuasaan politik merupakan sebagian saja dari kekuasaan sosial yakni kekuasaaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada Negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari dari warga masyarakat, tetapi juga pengendalian orang lain dengan tujuan mempengaruhi tindakan dan aktifitas dibidang administrative, legislative dan yudikatif.
Suatu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa adanya penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening). Kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan efektif, hal ini dapat disebut dengan control (penguasaan/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada alat/sarana kekuasaaan agar penggunaan kekuasaan itu dapat berjalan dengan baik.

Ossip K. Flechtheim (dalam Budiarjo, 2004: 38) membedakan dua macam kekuasaan politik, yakni:

  1. Bagian dari kekuasaan sosial yang tewujud dalam Negara (kekuasaan Negara) seperti lembaga-lembaga pemerintahan, DPR, Presiden dan sebagainya.
  2. Bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara yang berupa aliran-aliran dan asosiasi–asosiasi baik yang terang-terangan bersifat politik (seperti partai politik) maupun yang pada dasarnya tidak menyelenggarakan kegiatan politik namun pada saat-saat tertentu mempengaruhi jalannya pemerintahan, yaitu organisasi ekonomi, organisasi mahasiswa, organisasi agama dan sebagainya.

Kekuasaan politik berbeda dalam setiap Negara, di Indonesia terutama di masa lampau banyak organisasi wanita merupakan kekuatan politik, tetapi di negara-negara Barat, di Filipina dan Jepang bisaanya tidak bersifat politik. Begitu juga organisai kesarjanaan, organisasi pemuda dan sebagainya. Di Indonesia dan beberapa Negara barat seperti Belanda penyelanggaraan pengadilan tidak menyangkut kekuasaan politik, tapi di India dan Amerika Serikat beberapa keputusan Mahkamah Agung yang bersifat menguji Undang-Undang apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasar menyangkut kekuasaan politik. Oleh karena itu dapat merubah pembagian kekuasaan didalam Negara. Jadi di negara-negara itu sebagian kekuasaan Mahkamah Agung bersifat politik.

Tiga masalah utama yang selalu diamati oleh ilmuwan politik sehubungan dengan kekuasaan politik yakni, bagaimana kekuasaan itu dilaksanakan, bagaimana kekuasaan didistribusikan dan mengapa seseorang atau kelompok tertentu memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada orang lain (Surbakti, 2010: 80). Untuk memahami gejala politik kekuasaan secara tuntas maka kekuasaan dapat ditinjau dari enam dimensi, yaitu potensial dan actual, konsensus dan paksaan, positif dan negative, jabatan dan pribadi, implicit dan ekplisit, langsung dan tidak langsung

Seseorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status social yang tinggi, massa yang terorganisasi dan jabatan. Sebaliknya seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan secara efektif.

Seorang jutawan mempunyai kekuasaan potensial tapi tidak punya kekuasaan actual tapi dia dapat menggunakan kekayaannya untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan.

Aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Tujuan yang ingin dicapai bukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan tetapi menyangkut kepentingan kelompok kecil masyarakat. Sebaliknya aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan.

Menurut sumbernya kekuasaan dibagi menjadi :

  1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yaitu berupa uang, suaka, perkembangan karier dan sebagainya yang diberikan untuk melaksanakan suatu perintah maupun persyaratan lainnya.
  2. Kekuasaan paksaan (coersive power) yaitu kekuasaan yang berasal dari apa yang dirasakan oleh seseorang bahwa hukuman akan diteriman bila tidak melakukan atau menjalankan suatu perintah atau tugas. Hukuman ini dapat berupa teguran ataupun pemecatan dari jabatan.

Kewenangan adalah kekuasaan. Namun kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya.

Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasan politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik. Orang yang mempunyai kekuasaan politik dapat berarti mempunyai pengaruh besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik sebagaimana tampak dalam keputusan politik yang mencerminkan kehendaknya. Selain itu, dapat pula berarti yang mencerminkan kehendaknya dan pembuat serta pelaksana keputusan politik (Surbakti, 2010: 108).

Tiap pemimpin pemerintahan (Kepala desa, camat, Kepala instansi maupun Kepala Daerah) mempunyai sebuah kekuasaan politik. Kekuasaan politik disini dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat peda umumnya. Menurut jenisnya kekuasaan pemimpin pemerintahan merupakan sebuah kekuasaan karena jabatan/posisi yang didapat dari wewenang formal, yakni berasal dari tugas dan kewajiban yang dimilikinya.

Kepala Daerah (Bupati) dan Kepala Desa serta kepala instansi/dinas terkait mempunyai sebuah kekuasaan politik di ruang lingkup wilayahnya masing-masing. Kekuasaan politik tersebut dapat digunakan untuk mempengaruhi dan mengendalikan proses pembuatan keputusan. Mereka dapat mengerahkan segala kemampuannya dalam berbicara, bersikap maupun bertindak untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan yang sedang dibahas sehingga keputusan itu dapat menguntungkan dirinya sendiri, kepentingan kelompoknya ataupun bisa juga untuk kepentingan masyarakat pada umumnya dan itu bergantung pada keinginan hati nurani pemilik kekuasaan tersebut. Bentuk kekuasaan yang demikian inilah yang disebut persuasion, yakni kemampuan menyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu. Penggunaan pengaruh dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan. Orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan atau bawahan pada umumnya enggan untuk menentang keinginan dari atasan/pimpinan sehingga dengan mudah kekuasaan kepala daerah/kepala desa bisa mempengaruhi proses perencanaan pembangunan.

Demikian teori Kekuasaan dan Politik yang bisa saya tulis, semoga bermanfaat.

Munasyaroh F.

Berasal dari Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Mempunyai kesukaan membaca dan menulis. Membuat orang lain di sekitar bahagia adalah salah satu tujuan hidupnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Content is protected !!