Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian orang tua mungkin menganggap candaan bernada ejekan sebagai hal biasa. “Ah, cuma bercanda,” begitu pikirnya. Namun, apa yang tampak ringan bagi orang dewasa tidak selalu demikian bagi seorang anak yang masih membangun jati diri.
Tanpa disadari, ucapan bernada merendahkan, baik serius maupun bergurau dapat melekat kuat dalam memori anak dan memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri hingga dewasa.

Mengapa Celaan Orang Tua Berbahaya?
Anak-anak belajar mengenali dirinya melalui apa yang mereka dengar dari orang-orang terdekat, terutama orang tua. Kata-kata yang diulang terus menerus, termasuk yang bentuknya “humor sarkastis”, bisa membentuk persepsi mereka tentang diri sendiri.
Dalam beberapa pembahasan tentang kesehatan mental keluarga yang dipublikasikan lembaga seperti https://dlhketapang.org/, disebutkan bahwa pola komunikasi yang negatif di rumah dapat berdampak langsung pada perkembangan kepercayaan diri anak.
Ketika anak sering mendengar bahwa ia bodoh, pemalas, nakal, atau tidak berguna, gambaran negatif itu perlahan dapat menjadi bagian dari identitas yang ia yakini.
Dua Bentuk Kekerasan Verbal
Dalam bukunya Toxic Parents (2002) yang membahas berbagai hal parenting, Dr. Susan Forward menjelaskan bahwa kekerasan verbal pada anak umumnya muncul dalam dua gaya:
1. Kekerasan Verbal Langsung
Ini adalah bentuk verbal abuse yang paling jelas terlihat: orang tua melabeli atau menyerang anak secara frontal. Misalnya:
“Kamu bodoh ya?”
“Dasar pemalas.”
“Gendut banget sih kamu!”
“Hitam sekali, kayak arang.”
“Kamu itu nggak berguna!”
Bahkan yang paling menyakitkan, “Ayah Ibu menyesal melahirkan kamu.”
Ucapan seperti ini tidak hanya menyakiti hati anak saat itu juga, tetapi meninggalkan luka psikologis jangka panjang. Anak yang tumbuh dengan cercaan cenderung memiliki harga diri rendah, sulit percaya diri, dan merasa tidak pantas dicintai.
2. Kekerasan Verbal Tidak Langsung
Jenis kedua ini tampak lebih “dibungkus halus”. Biasanya berupa candaan, sindiran, atau komentar yang disampaikan seolah bukan untuk menyakiti, namun tetap merendahkan. Contohnya:
“Lihat deh si jelek itu… ribut lagi.”
“Dia mah anak pungut. Kalau anak Mama Papa pasti nggak kayak begitu.”
“Memang begini kelakuannya, maklumlah….”
Ketika ditegur, orang tua akan berkata, “Kan cuma bercanda.”
Sayangnya, anak tidak punya kemampuan membedakan mana candaan dan mana hinaan. Bagi mereka, semua ucapan orang tua adalah kebenaran.
Anak Percaya Apa Pun yang Diucapkan Orang Tuanya

Anak-anak menerima kata-kata orang tua seperti cermin yang menunjukkan siapa mereka. Jika cermin itu kusam dan penuh kritik, gambaran diri yang muncul pun ikut kabur dan negatif.
Ketika orang tua mengatakan bahwa anaknya jelek, bodoh, atau tidak berguna, ada peluang besar anak benar-benar mempercayainya—bahkan hingga ia dewasa dan menjadi orang tua pula.
Peran Orang Tua: Membina, Bukan Menghakimi
Setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih, dukungan, dan kebijaksanaan. Mengasuh anak bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisiknya, tetapi juga merawat mental dan emosinya.
Karena itu:
Pilih kata-kata dengan bijak.
Beri arahan tanpa merendahkan.
Tegur dengan empati.
Validasi perasaan anak.
Jadilah tempat pulang yang aman, bukan sumber luka.
Penutup
Mencela anak, apa pun bentuknya, serius maupun bercanda bukan hanya tidak mendidik, tetapi juga dapat merusak perkembangan emosional mereka. Mari hadir sebagai orang tua yang lebih sadar, lebih bijak, dan lebih lembut dalam mendidik generasi masa depan.
Luka karena kata-kata mungkin tidak terlihat, tetapi dampaknya bisa tinggal sepanjang hidup.
