D berbagai daerah di Jawa, setiap hajatan biasanya diawali dengan rangkaian tradisi yang memiliki makna tersendiri. Tradisi-tradisi ini bukan sekadar rutinitas turun-temurun, tetapi menjadi cara masyarakat menjaga hubungan sosial sekaligus memohon kemudahan dalam acara yang akan dijalankan. Di postingan beberapa waktu yang lalu, saya sudah menuliskan tentang Cabuk Sebagai Kuliner Khas Sebelum Hajatan, kali ini akan meneruskan postingan tersebut.

Di Desa Pucangro, Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Lamongan yang merupakan domisili saya, salah satu tradisi penting yang tidak pernah dilewatkan adalah Ngaturi, sebuah kegiatan sederhana namun sarat makna, yang dilakukan pada malam sebelum hajatan. Informasi mengenai tradisi lokal semacam ini juga sering dibahas dalam berbagai platform budaya dan lingkungan seperti https://dlhkabbekasi.org/ yang turut mengangkat pentingnya kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat.
Secara bahasa, Ngaturi berasal dari kata “aturi” yang berarti mengundang atau memberi tahu. Esensinya adalah menyampaikan kabar bahwa besok akan ada hajatan di rumah tertentu. Namun dalam praktiknya, Ngaturi bukan hanya pemberitahuan biasa. Selain mengundang tetangga untuk hadir, tuan rumah juga meminta restu dan doa agar hajatan berjalan lancar, selamat, dan membawa kebaikan bagi keluarga maupun masyarakat sekitar.
Suasana Malam Menjelang Hajatan
Menjelang malam, rumah calon tuan rumah mulai ramai oleh kedatangan tetangga. Jika sebelumnya sudah ada Cinjo di siang hari, di malam hari mereka datang tanpa banyak persyaratan. Cukup membawa diri dan niat baik untuk mendoakan tuan rumah. Kehangatan terasa tidak hanya karena suasana desa yang dekat satu sama lain, tetapi juga karena nilai gotong royong yang masih dijaga.
Dalam Ngaturi, doa bersama dipimpin oleh tokoh masyarakat, biasanya sesepuh desa atau seseorang yang dihormati. Doanya pun sederhana, memohon keselamatan untuk keluarga penyelenggara, kelancaran acara esok hari, kesehatan bagi semua yang hadir, serta keberkahan dalam setiap langkah. Meski sederhana, momen ini sering menjadi saat refleksi dan pengingat bahwa setiap hajatan bukan hanya urusan satu keluarga, tetapi bagian dari kehidupan bermasyarakat.

Loyang Besar sebagai Simbol Kebersamaan
Salah satu ciri khas dari Ngaturi di Desa Pucangro adalah hadirnya sebuah loyang besar berisi aneka makanan tradisional. Isi loyang ini sebenarnya tidak sekadar hidangan untuk disantap, tetapi memiliki makna simbolis yang sudah dipahami turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Di dalam loyang itu biasanya ada:
- Nasi putih, sebagai simbol kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam budaya Jawa, nasi adalah makanan pokok yang melambangkan kecukupan hidup. Dengan menyajikan nasi kepada tamu, tuan rumah berharap rezeki selalu mengalir bagi semua.
- Ketan, makanan lengket yang menggambarkan harapan agar hubungan antartetangga tetap lengket, erat, dan harmonis.
- Serundeng, jeroan, dan lauk sederhana lainnya, sebagai pelengkap yang menunjukkan nilai berbagi rezeki apa adanya.
- Kue kucur, jajanan tradisional manis yang sering hadir dalam berbagai upacara adat, melambangkan manisnya hubungan sosial.
- Satu tumpeng kecil, simbol syukur kepada Tuhan.
- Sepiring bubur merah, yang dalam tradisi Jawa sering menjadi penanda permohonan tolak bala dan harapan kes elamatan.
Makanan-makanan ini disusun rapi dalam satu loyang besar. Kehadiran loyang bukan sekadar budaya kuliner, tetapi wujud filosofi kebersamaan: satu wadah untuk dinikmati bersama, melambangkan satu tujuan dan satu harapan.
Makan Bersama sebagai Ikatan Sosial
Setelah doa selesai dipanjatkan, para tamu dipersilakan menikmati isi loyang tersebut. Makan bersama seperti ini mengingatkan pada budaya ketika masyarakat desa menjadikan kebersamaan sebagai penguat hubungan. Tidak ada yang dibedakan, semua tamu duduk melingkar dan menikmati hidangan dengan santai.
Jika makanan tidak habis, para tamu biasanya membungkus dan membawanya pulang. Bagi masyarakat desa, membawa pulang makanan menjadi hal wajar—bentuk penghormatan kepada tuan rumah sekaligus simbol bahwa berkah acara ikut terbawa pulang.
Makna yang Masih Relevan di Zaman Modern
Meski zaman terus berubah, tradisi Ngaturi tetap bertahan di Pucangro. Kehadirannya bukan karena kewajiban, tetapi karena masyarakat merasakan manfaatnya. Di tengah kehidupan modern yang semakin individualistis, tradisi seperti ini menjadi jembatan sosial yang mempererat hubungan antarwarga. Banyak komunitas budaya dan lingkungan, termasuk situs seperti https://dlhkabbekasi.org/, juga menekankan pentingnya pelestarian tradisi lokal untuk menjaga nilai sosial masyarakat.
Dari sudut pandang sosial budaya, Ngaturi juga dianggap sebagai perpaduan tradisi Jawa dan nilai keagamaan. Doa yang dibacakan bernuansa Islami, tetapi simbol-simbol adat tetap dipertahankan. Ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk menjaga identitas tanpa mengabaikan perkembangan zaman.
Ngaturi bukan hanya tradisi sebelum hajatan, melainkan pengingat bahwa kebersamaan adalah nilai yang harus selalu dijaga. Tradisi ini membuat tetangga tetap dekat, memupuk rasa saling peduli, dan memperkuat jaringan sosial yang mendukung kehidupan masyarakat sehari-hari.
Meskipun sederhana, Ngaturi memiliki dampak besar. Ia mengajarkan bahwa menjelang hajatan, bukan hanya persiapan fisik yang penting, tetapi juga persiapan hati, memohon keberkahan, menjaga hubungan baik, dan berbagi rezeki kepada sesama. Di tengah perubahan zaman, tradisi seperti inilah yang membantu masyarakat tetap punya akar, sekaligus memberi ruang bagi nilai-nilai leluhur untuk tetap hidup.
