Udara pagi terasa sejuk, sang fajar belum menyingsing. Suasananya masih gelap ketika pintu rumahku diketuk dan depan rumah sudah ramai dengan celotehan banyak orang. Ketika dibuka ternyata ada tetangga yang mengantarkan makanan berupa nasi, lauk lodeh, kerupuk dan gula. Ternyata eh ternyata hari itu, salah satu tetangga akan menggelar hajatan besar, dan salah satu tradisi yang dilakukan adalah Cinjo. Karena sudah dapat Cinjoan, otomatis harus ikut rewang juga.
Postingan Coretan Dari Desa kali ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai tradisi sebelum Hajatan yang ada di Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan sebagai tempat domisiliku. Jika bulan lalu menulis mengenai tradisi rewang sebelum hajatan, kali ini akan menulis mengenai tradisi Cinjo sebelum Hajatan.
Kata Cinjo berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengirim atau memberikan sesuatu. kepada kerabat, tetangga, dan masyarakat sekitar sebagai bentuk penghormatan, rasa syukur, serta mempererat silaturahmi. Di Desa Pucangro Cinjo sendiri ada beberapa macamnya. Tergantung waktu dan tujuannya. Selain cinjo sebelum hajatan, ada cinjo sebelum kondangan selapan bayi, cinjo pengantin, cinjo menjelang hari raya, cinjo peringatan kematian, cinjo sedekah bumi, cinjo sebelum tasyakuran dan lain-lain.
Apa saja Isi Cinjo?
Isian dari Cinjo tersebut tentunya bermacam-macam. Tergantung tujuan dari tradisi ini. Berhubung tulisan ini khusus mengupas tradisi cinjo sebelum hajatan, maka isiannya juga khusus mengenai hal tersebut. Ini merupakan salah satu upaya pencatatan budaya supaya banyak dikenal masyarakat luas. Juga pengingat di masa depan.
Jamanku kecil dulu, isian Cinjo sebelum hajatan berupa nasi, lodeh daging dengan tambahan kerupuk serta jajanan khas hajatan seperti : belimbimbingan, krecek, gapit jeber, gapit gluntung, matahari, reteh, unthukyuyu, keciput dan sebagainya. Saya tidak paham, dalam bahasa Indonesia disebut dengan apa. Saya menuliskan dalam bahasa jawa khas Pucangro.
Namun, seiring waktu, banyak orang merasa kurang menyukai jajanan khas tersebut. Tumpangan makanan cinjoan tersebut selalu terbuang gak ada yang mau makan. Maka demi efisiensi, 10 tahun terakhir ini, isi Cinjo diganti dengan gula saja. Meskipun begitu, porsinya tetap menyesuaikan kekerabatan antara penerima dan pemilik hajatan. Selain nasi, lodeh dan gula masih ada tambahan kerupuk diatasnya.
Sruwo: Simbol Kedekatan dalam Cinjo
Di desa Pucangro, ada istilah sruwo yang menentukan porsi Cinjoan. Jika kerabat masih sangat dekat dan dituakan, mereka mendapat sruwo lima. Isiannya berupa nasi dan lodeh daging dalam jumlah banyak, ditambah lagi soto ayam atau lodeh ikan, kemudian sesisir pisang dan kerupuk lebih banyak. Biasanya ini untuk saudara, besan, dan orang tua dari pemilik hajat.
Sedangkan untuk kerabat yang agak jauh atau masih muda, seperti saudaranya besan dan sepupu porsinya disebut sruwo papat atau sruwo telu. Isiannya juga sama hanya saja kerupuknya lebih sedikit dan tanpa pisang. Tetangga dekat, masuk sruwo telu.
Untuk warga desa lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, mereka tetap mendapat nasi dan lodeh daging dengan porsi standar serta gula 1 kilogram. Namun, bagi masyarakat luar desa, isi Cinjoan hanya nasi, lodeh daging, dan kerupuk tanpa gula.
Dalam tradisi sekarang ini, pemilik hajatan sebelumnya harus menyediakan sekitar 700-800kg gula untuk cinjo. Hal ini memang sangat memberatkan, namun karena sudah terlanjur tradisi sehingga susah dihilangkan. Pemerintah desa sendiri sudah pernah mengintruksikan buat menghilangkan tradisi pakai gula, namun tidak ada yang mau memulainya. Sehingga tradisi tetap berlanjut. Mungkin nanti jika ada yang berani menggebrak tradisi dengan tanpa gula, orang lain akan mengikutinya. Pada akhirnya, tradisi cinjo tanpa gula akan terlaksana.
Perjalanan Cinjo: Menggendong Tradisi dengan Penuh Makna
Cinjo dimulai sejak pagi pukul 05.00 dan bisa berlangsung hingga sore sekitar pukul 16.00 WIB. Jika masih ada warga desa yang belum mendapat Cinjo, kegiatan ini bisa dilanjutkan keesokan harinya. Rumah yang dicinjo sekitar 700an, itu belum termasuk yang diluar desa. Kalau kerabat luar desa banyak, otomatis cinjonya juga banyak.
Karena Cinjo membutuhkan tenaga yang cukup banyak sehingga perlu tenaga rewang yang lebih juga. Biasanya pemilik hajatan akan mengundang lagi orang-orang untuk diajak rewang khusus di hari Cinjo. Dengan begitu, jumlah rewang jadi lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Baca nih ulasan Tradisi Rewang Sebelum Hajatan Ala Desa Pucangro.
Orang yang cinjo kebanyakan wanita atau ibu-ibu muda yang masih punya banyak tenaga. Mereka yang sudah berumur dan gampang lelah membantu menyiapkan segala sesuatunya di dapur. Mulai dari nasi, lauk, kerupuk dan lainnya. Mereka biasanya kerja sambil duduk-duduk. Sementara yang cinjo harus ke lokasi sasaran dengan motor dan jalan kaki.
Para wanita yang bertugas untuk cinjo membawa empat bakul besar nasi yang digendong didepan. Di tangan kiri, menggenggam satu renteng berisi empat wadah lodeh daging. Di tangan kanan, mereka membawa kantong plastik besar berisi gula dan kerupuk. Sekali berangkat, satu pembawa Cinjo bisa mengantarkan ke empat rumah sekaligus. Beberapa orang lainnya naik sepeda motor untuk membantu mengantar para pembawa Cinjo langsung ke rumah sasaran.
Terkadang karena keterbatasan tenaga, sang pembawa motor ikut memggendong nasi juga. Untung renteng lauk dibawa yang dibonceng. Kerupuk dan gula ditaruh di depan, dicentelkan kresek.
Dulu, orang yang mengantar cinjo harus laki-laki karena pakai motor. Tapi sekarang semuanya dilakukan oleh perempuan karena hampir semua orang bisa naik motor. Para rewang biasanya membawa motor sendiri-sendiri dan kendaraan tersebut yang digunakan untuk cinjo. Untuk bahan bakar bensin disediakan pemilik hajatan.
Rute Cinjo biasanya dimulai dari tetangga terdekat. Kemudian kepada kerabat yang bertitel Sruwo limo dan papat. Baru setelahnya menyisir rumah per rumah berdasarkan jalur yang dilewati. Setelah satu RT selesai, dilanjutkan satu RW. Lalu ke RT-RW lain yang terdekat. Paling akhir biasanya adalah rumah yang diujung desa.
Orang-orang yang Cinjo harus memastikan tidak ada rumah yang terlewat. Semua harus mendapatkan makanan cinjo tersebut. Kalau ada yang terlewat, biasanya akan ada tetangga atau orang yang kenal melaporkan. Lalu kemudian diberi cinjo susulan.
Bagi tradisi di Desa saya, ini bukan hanya soal berbagi makanan. Cinjo adalah wujud penghormatan dari pemilik hajat kepada masyarakat dan kerabat. Setiap rumah yang menerima Cinjo merasa dihargai, diakui, dan semakin erat dalam kebersamaan. Nantikan mereka akan buwoh dengan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan isi Cinjoan. Kalau tidak dicinjo, merasa tidak dihargai. Kadang tidak akan mau datang ke hajatannya.
Perbedaan Cinjo di Desa Sebelah
Tradisi Cinjo di desa lain tidak ada yang sama dengan Desa Pucangro. Di desa sebelah/desa lain, tradisi cinjo berbeda-beda. Cinjo ada yang dilakukan saat hajatan berlangsung, ada juga yang dilakukan sore hari H-1 sebelum hajatan. Porsinya lebih sedikit. Di beberapa desa lain hanya memberi sepiring nasi dan seplastik lodeh. Ada juga yang menggunakan ember kecil sebagian tempat nasi dan piring/mangkuk sebagai tempat lodeh. Isiam lauk atau tambahan kerupuk juga berbeda. Hampir tidak ada yang isian gula seperti Desa Pucangro. Meski demikian, keberagaman ini justru memperlihatkan kekhasan Cinjo di Desaku tercinta.
Saat matahari mulai condong ke barat, saya menyadari satu hal: Cinjo bukan sekadar membagikan makanan. Ia adalah simbol rasa syukur, kebersamaan, dan ikatan sosial yang mengakar kuat di desa kami.