Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, menjaga dan melestarikan tradisi lokal menjadi tantangan tersendiri. Tradisi bukan sekadar rutinitas yang diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan juga sarat dengan makna dan nilai-nilai luhur yang menjadi identitas suatu masyarakat. Di berbagai tempat, baik desa, kampung, kota maupun lokasi lainnya pastinya ada banyak tradisi yang mewarnai kehidupan masyarakatnya.
Tak terkecuali di Desa Pucangro, Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang menjadi domisili penulis Blog Coretan Dari Desa saat ini. Terdapat berbagai tradisi unik yang masih bertahan hingga saat kini. Salah satunya adalah tradisi-tradisi yang menyertai sebuah hajatan dalam keluarga. Baik hajatan pernikahan maupun hajatan khitan.
Dalam tradisi lokal, persiapan hajatan merupakan bagian penting dari budaya yang mencerminkan kebersamaan dan gotong royong masyarakat. Tradisi sebelum hajatan yang ada di Desa Pucangro tergolong unik, karena di desa-desa lain atau daerah lainnya hampir tidak ada. Kalaupun ada yang menyamai, tidaklah sama persis.
Sebagai salah seorang warga di desa Pucangro yang tinggal sejak kecil, saya merasa tergerak untuk menuliskan tradisi tersebut. Tradisi tersebut saya rasa perlu didokumentasikan dalam tulisan supaya banyak yang mengetahuinya dan dapat dibaca oleh generasi muda sebagai bagian dari warisan budaya.
Berdasarkan pengalaman dan penglihatan selama ini ada lebih dari 5 Tradisi unik yang ada di Desa tercinta ini. Insyaallah secara periodik akan menuliskan dalam blog ini, seperti saat saya menuliskan cerita banjir di cerita banjir di Desa Pucangro. Mulai dari penyebab, akibat hingga metode untuk mengatasinya.
Kali pertama ini saya akan menuliskan tentang Tradisi Rewang Sebelum Hajatan yang ada di Desa Pucangro. Nanti akan menyusul tulisan tentang Cinjo, Ngaturi, Plandang dan lainnya.
Rewang Sebelum Hajatan
Dalam bahasa lokal masyarakat Desa Pucangro, rewang sebelum hajatan disebut dengan anjeng. Kalau rewang saat hajatan sebutannya sudah beda lagi. Di sini saya tulis rewang saja karena penggunaannya sudah umum dalam bahasa Indonesia. Di berbagai tempat juga ada. Tradisi rewang ini tidak hanya mencerminkan semangat gotong royong, tetapi juga menjadi bukti nyata betapa eratnya tali persaudaraan di antara warga desa.
Rewang sebagai tradisi gotong royong warga Desa Pucangro dalam rangka mempersiapkan hajatan biasanya dimulai sekitar 7-10 hari sebelum acara utama dan berlangsung hingga sehari setelah hajatan (H+1). Dahulu, sebelum ada banyak peralatan canggih, tradisi rewang bahkan dimulai sejak 25 hari sebelum hajatan. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan ketersediaan bahan makanan yang lebih mudah, durasi rewang pun disesuaikan. Sekarang jadi lebih cepat dan simpel.
Prosesi rewang dimulai ketika pemilik hajat mendatangi tetangga, kerabat, dan teman dekat untuk meminta bantuan. Mereka yang didatangi kemudian ikut serta dalam persiapan hajatan dan disebut sebagai “rewang.” Selama masa rewang, para tetangga dan kerabat berkumpul di rumah pemilik hajat untuk membantu berbagai tugas, seperti:
- Membuat bahan makanan untuk suguhan.
- Meracik bumbu masakan.
- Menyiapkan perlengkapan hajatan.
Tradisi ini tidak hanya meringankan beban pemilik hajat, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan. Setiap hari, para rewang berkumpul dari pagi hingga sore hari, bekerja bersama-sama dengan penuh semangat dan kegembiraan. Momen ini menjadi kesempatan untuk saling berbagi cerita dan pengalaman, serta memperkuat rasa kebersamaan di antara mereka.
Peran Vital Sang Bobok
Dalam tradisi rewang, ada satu peran yang sangat penting, yaitu Bobok. Bobok adalah pemimpin atau penanggung jawab dalam proses persiapan hidangan selama hajatan. Ia memiliki peran utama dalam memastikan kelancaran dapur dan menjaga cita rasa makanan yang disajikan. Biasanya, Bobok dipilih secara khusus oleh pemilik hajat dan dibayar atas jasanya.
Keahlian memasak yang mumpuni menjadi syarat utama karena kualitas hidangan sangat bergantung pada kepiawaiannya. Oleh sebab itu, Bobok haruslah orang yang berpengalaman. Dalam tradisi di Desa Pucangro, peran ini selalu diemban oleh perempuan.
Menurut salah satu Bobok yang saya wawancarai, jumlah Bobok di Desa Pucangro sangat terbatas, bisa dihitung dengan jari. Hal ini menjadikan regenerasi Bobok sebagai aspek penting dalam menjaga kelangsungan tradisi. Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi Bobok selain ketekunan dan pemahaman yang baik terhadap porsi racikan bumbu masakan. Seorang Bobok juga harus memiliki kepekaan dalam mengatur bahan makanan agar cukup untuk seluruh tamu undangan.
Tugas Bobok sangat beragam dan menuntut ketelitian tinggi. Ia harus menentukan daftar belanjaan sesuai dengan kebutuhan acara, terkadang ikut serta dalam proses belanja untuk memastikan kualitas bahan yang dibeli. Selain itu, Bobok juga bertanggung jawab menyusun jadwal harian pembuatan makanan agar semua hidangan tersedia tepat waktu.
Saat proses memasak berlangsung, Bobok bertugas membuat racikan bumbu untuk semua masakan yang disajikan. Ia harus memastikan takaran bumbu sesuai agar cita rasa khas tetap terjaga. Jika dalam suatu hajatan tidak banyak orang yang rewang atau membantu, maka beban kerja Bobok menjadi lebih berat. Ia harus mengoordinasikan semua pekerjaan, dari mengolah bahan mentah hingga memastikan hidangan siap disajikan kepada tamu.
Keberadaan Bobok dalam hajatan bukan sekadar sebagai juru masak, tetapi juga sebagai penjaga tradisi kuliner lokal. Keahliannya diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan peran ini tidak hanya penting dalam acara hajatan, tetapi juga dalam melestarikan budaya dan kebersamaan di masyarakat
Makna di Balik Tradisi Rewang
Tradisi rewang bukan sekadar tentang membantu persiapan hajatan. Ia memiliki makna yang lebih dalam, yaitu:
1. Gotong Royong
Rewang mencerminkan semangat kebersamaan dan saling membantu di antara warga desa.
2. Silaturahmi
Momen rewang menjadi ajang untuk mempererat hubungan antarwarga, baik tetangga maupun kerabat.
3. Pelestarian Budaya
Tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur masih hidup dan dipertahankan di tengah perubahan zaman.
4. Penghematan
Dengan gotong royong, biaya persiapan hajatan dapat ditekan, sehingga meringankan beban pemilik hajat.
Sisi Negatif Rewang
Budaya rewang memang memiliki banyak sisi positif, seperti mempererat hubungan sosial dan meringankan beban tuan rumah. Namun, dibalik itu masih ada beberapa sisi negatif yang sering muncul dalam praktiknya:
1. Beban bagi Tuan Rumah
Meskipun tujuan rewang adalah membantu, terkadang tuan rumah justru terbebani. Mereka harus menyediakan makanan dan camilan bagi para pekerja, yang menambah biaya hajatan.
2. Gosip dan Omongan Negatif
Saat bekerja bersama, orang sering berbincang. Sayangnya, hal ini kadang berubah menjadi gosip yang bisa menimbulkan konflik atau kesalahpahaman.
3. Tidak Semua Orang Ikhlas
Ada yang datang rewang dengan niat baik, tapi ada juga yang sekadar formalitas atau ingin dihormati. Beberapa orang bahkan berharap balasan lebih dari yang seharusnya. Terkadang ada yang bertangan panjang, mengambil sesuatu yang seharusnya disimpan oleh tuan rumah.
4. Beban Sosial bagi yang Tidak Ikut
Di desa, orang yang tidak ikut rewang bisa dianggap kurang peduli atau tidak mau berbagi. Ini bisa menimbulkan tekanan sosial, terutama bagi mereka yang sibuk atau kurang mampu. Takut jadi bahan pergunjingan.
5. Pekerjaan Tidak Efisien
Karena banyak orang bekerja tanpa koordinasi yang baik, tugas bisa jadi berantakan atau tidak efisien. Akibatnya, pekerjaan bisa lebih lama selesai daripada jika dikerjakan oleh tenaga profesional.
6. Perbedaan Standar Kebersihan dan Keterampilan
Dalam rewang, setiap orang memiliki cara kerja berbeda. Ada yang rapi dan bersih, ada juga yang asal-asalan. Ini bisa mempengaruhi hasil akhir, terutama dalam urusan masak-memasak dan penyajian makanan.
Meskipun memiliki sisi negatif, budaya rewang tetap menjadi bagian penting dari kehidupan sosial, terutama di pedesaan. Dengan komunikasi dan manajemen yang baik, sisi negatif ini bisa diminimalkan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun tradisi unik rewang masih bertahan di Desa Pucangro, tidak dapat dipungkiri bahwa ada tantangan dalam melestarikannya. Generasi muda yang semakin sibuk dengan aktivitas modern mungkin kurang tertarik untuk terlibat dalam tradisi ini. Selain itu, regenerasi Bobok juga menjadi tantangan tersendiri, karena tidak semua orang memiliki keahlian dan minat untuk menjadi pemimpin dalam persiapan hajatan. Generasi muda perlu diajak untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini.
Tradisi rewang di Desa Pucangro adalah contoh nyata betapa pentingnya melestarikan warisan budaya. Ia tidak hanya mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan, tetapi juga menjadi identitas yang membanggakan bagi masyarakat setempat. Dengan menjaga tradisi ini, kita tidak hanya menghormati leluhur, tetapi juga memberikan warisan berharga untuk generasi mendatang.
Mari kita jaga dan lestarikan tradisi rewang agar tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi daerah lain. Bagaimana dengan tradisi unik di daerah Anda? Apakah ada ritual serupa yang patut dibagikan? Yuk, ceritakan pengalaman Anda dan bersama-sama kita jaga kekayaan budaya Indonesia!