Postingan ini masih menjadi satu rangkaian tradisi sebelum Hajatan yang ada di Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan Jawa. Jika sebelumnya sudah menulis tentang budaya rewang dan aktifitas cinjo jelang hajatan. Kali ini mau membahas mengenai salah satu kuliner yang dapat ditemui di hari hajatan yang bernama Cabuk.
Bahan Baku Cabuk, Kuliner Khas Hajatan Desa Pucangro
H-1 sebelum hajatan berlangsung, biasanya pekerjaan para rewang sudah mulai berkurang. Jika Cinjo belum selesai, para rewang (orang yang membantu hajatan) akan melanjutkan pengantaran Cinjo. Namun, jika Cinjo telah rampung, maka fokus utama para rewang adalah menyiapkan Cabuk.
Cabuk ini adalah makanan khas yang wajib ada saat hajatan di Desa Pucangro. Bentuknya menyerupai pepes, dibungkus dengan daun pisang. Uniknya, bahan utama Cabuk bukanlah daging atau ikan, melainkan bekatul atau dedak lembut yang telah dipilih dan diayak terlebih dahulu.
Untuk menghasilkan Cabuk yang berkualitas, bekatul harus berasal dari padi yang baru digiling, maksimal dua hari sebelumnya. Bekatul yang sudah lama akan kehilangan kesegarannya dan menimbulkan bau tengik, sehingga tidak bisa digunakan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku menjadi kunci utama kelezatan dari Cabuk.
Pertama-tama bahan bekatul diayak terlebih dahulu menggunakan saringan. Bekatul yang paling lembutlah yang digunakan. Yang kasar dan tersisa di ayakan disingkirkan. Pada proses ini, biasanya bekatul yang digunakan hanya sepertiga dari bahan yang disiapkan karena memang harus benar-benar yang paling lembut.

Bekatul yang telah disiapkan kemudian dicampur dengan berbagai bumbu dan rempah-rempah khas. Diantaranya Bawang merah, bawang putih, merica, cabe, kunyit, kemiri, ketumbar, daun salam, dsb. Terkadang ada tambahan parutan kelapa didalamnya.
Bobok dan para rewang dengan persetujuan emilik hajatan juga menambahkan udang, baik yang segar maupun kering, tergantung selera untuk menambah cita rasa nikmat didalamnya.
Campuran semua bahan ini kemudian dimasukkan dalam wadah besar yang tertutup rapat dan dibiarkan mengalami fermentasi selama beberapa jam.
Proses ini bertujuan untuk menciptakan cita rasa khas yang membuat Cabuk semakin nikmat.
Proses Memasak dan Penyajian Cabuk
Setelah melalui proses fermentasi, dan sudah menguat aroma yang khas, bakalan Cabuk kemudian dibungkus daun pisang dengan takaran satu bungkus isinya satu setengah sendok makan.
Bakalan Cabuk yang dibungkus daun pisang kemudian dikukus hingga matang. Saat proses memasak berlangsung, aroma khas dari bekatul dan rempah-rempah menyebar ke seluruh dapur. Bau harumnya begitu menggoda, membuat siapa pun yang menciumnya ingin segera mencicipinya.
Cabuk yang telah matang akan disimpan dan dipersiapkan untuk disajikan di pagi hari saat hajatan. Saat itu ada tradisi lagi yang bernama Plandang. Nanti akan ditulis setelah postingan ini. Biasanya, jumlah Cabuk yang dibuat berkisar 200-500 porsi, tetapi bisa lebih, tergantung keinginan dan kemampuan ekonomi pemilik hajatan.
Menariknya, Cabuk tidak hanya dinikmati oleh tamu undangan. Para rewang pun turut mengambil satu atau dua bungkus Cabuk untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi keluarga di rumah. Bahkan, masyarakat dari luar desa yang pernah mencicipinya akan langsung menanyakan keberadaan Cabuk saat menghadiri hajatan di Desa Pucangro.
Karena cita rasanya yang khas dan tidak ditemukan di desa lain, Cabuk sering menjadi rebutan. Banyak tamu yang ingin membawa pulang Cabuk sebagai kenang-kenangan. Keistimewaan ini membuat hajatan di Desa Pucangro terasa lebih spesial dibanding hajatan di tempat lain. Pada siang hari, saat hajatan berlangsung biasanya Cabuk sudah habis gak bersisa.
Cabuk sebagai Simbol Kebersamaan dan Warisan Budaya
Berdasarkan penuturan para sesepuh desa, Cabuk sudah ada sejak dulu dan menjadi bagian dari tradisi hajatan di Desa Pucangro. Meskipun di luar hajatan ada juga yang membuatnya, tetapi rasanya tidak pernah seistimewa Cabuk yang dibuat khusus untuk hajatan.
Tradisi ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi juga tentang nilai-nilai sosial dan budaya yang terus dijaga. Pembuatan Cabuk melibatkan banyak orang, dari proses persiapan hingga pembungkusan. Semua bekerja bersama dengan semangat gotong royong, menciptakan kebersamaan yang semakin erat di antara masyarakat desa.
Keberadaan Cabuk dalam hajatan di Desa Pucangro membuktikan bahwa sebuah tradisi kuliner dapat menjadi identitas khas suatu daerah. Bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga simbol kehangatan, kebersamaan, dan rasa syukur dalam setiap perayaan.
Perlu digaris bawahi juga, pembuatan Cabuk dan tradisi plandang ini hanya bisa ditemui di Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan. Di Desa tetangga belum ada yang seperti ini. Tapi kalau pembaca Coretan Dari Desa menemukan tradisi yang sejenis, bisa banget ditulis di kolom komentar supaya banyak yang paham juga.
Terima kasih wawasannya kak. Ngomong-ngomong bau bekatul yang dicampur air panas tuh sedap. Kayak makanan. Jadi kepo bau cabuk saat matang dan masih hangat juga sama?
Kalau sudah ditambah bumbu, rempah-rempah dan udang baunya semerbak enak banget.
Baru dengar dengan Cabuk ini. Salah satu kearifan lokal Lamongan ya mbak. Jadi pengen datang ke kondangan di Lamongan biar bisa mencicipi Cabuk
Mbaaak aku pengen banget rasain ini, tradisional banget ya pasti rasanya nikmat banget Ya mbak
Banyak sekali istilah baru yg kutemukan kak. Btw rasanya ini kayak mana?
Rasanya khas banget, seperti lauk pauk. Paling dekat mungkin pecel tapi tanpa rasa kacang
Waaa… Kayaknya aku suka ini sama rasa Cabuk.
Btw, bobok itu artinya apa, Kak?
Bisa nanti kayaknya buat resep dan tutorial buat cabuk nih, Kak.
Oiya, teringatnya 1 bungkus cabuk itu seberapa banyak? Apakah bisa dimakan 5 orang? Trus dia itu sejenis kudapan atau lauk yang dimakan pakai nasi ya?
Istilah bobok ada di bagian lain blog uni, bobok tuh penanggung jawab masakan saat hajatan. Dia yang meracik bumbu, membuat dan menyajikan. Para rewang tinggal bantu dia
Menarik sekali pembahasannya! Jadi pengin makan cabuk. Bekatul sangat bergizi, pasti cabuk juga begitu selain enak. Semoga nanti populer dan ada yg menjual di Tangerang.
Kalau populer ntar gk istimewa lagi dong
Baru tahu cabuk nih. Mbak coba ikutan lomba artikel dari disperpursip jatim tentang konten lokal mbak. Keren nih. Ngga semua tahu ini
Pernah nyoba mbk, tapi masih belum dilirik juri
Jadi penasaran sama rasanya. Di medan sndiri belum ada sejenis makanan seperti ini. Unik dn patut dilestarikan. Plus klo blm byk yg buat, bs jd ide usaha kwkwkw
Rasanya asin, pedas, Gurih. Belum ada yg buat untuk diperjualbelikan krn ini khusus makanan hajatan