Memaknai Sumpah Pemuda di Era Digital

Setiap tanggal 28 Oktober, kita selalu diingatkan kembali pada momen bersejarah, yakni lahirnya Sumpah Pemuda. Sebuah tekad suci dari generasi muda Indonesia tahun 1928 untuk bersatu: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Dulu, para pemuda berjuang dengan semangat kebangsaan dan keberanian untuk menegaskan jati diri bangsa. Kini, di era digital, perjuangan itu tetap ada, hanya wujudnya yang berbeda.

Menulis naskah

Kalau dulu mereka turun ke jalan dan berpidato di kongres, kini kita berbicara lewat layar, mengetik di media sosial, dan membuat konten yang bisa menjangkau ribuan orang dalam hitungan detik. Namun, pertanyaannya: apakah semangat persatuan itu masih kita bawa dalam dunia digital hari ini?

Pemuda dan Tantangan Dunia Digital

Menjadi pemuda di era digital bukan hal yang mudah. Informasi datang bertubi-tubi, perbedaan pendapat kian terbuka, dan kadang, hal kecil bisa memecah belah.
Media sosial yang seharusnya jadi ruang berbagi justru sering berubah jadi ajang saling serang. Namun di sisi lain, dunia digital juga memberi peluang besar, ruang untuk berkarya, belajar, dan menyebarkan hal baik.

Banyak pemuda yang kini menggunakan media sosial untuk menyuarakan isu lingkungan, pendidikan, atau kesehatan mental. Ada yang aktif membuat kampanye peduli sampah, ada yang menulis edukasi tentang kebersihan di blog, bahkan ada yang menginspirasi lewat konten sederhana.

Salah satu contoh bisa dilihat dari situs seperti dlhdkijakarta.id yang rutin membagikan informasi dan edukasi tentang lingkungan hidup. Dari sana kita bisa belajar bahwa kepedulian terhadap bumi juga bagian dari semangat kebangsaan — karena mencintai tanah air berarti juga menjaga alamnya.

Menjaga Nilai Persatuan di Dunia Maya

Sumpah Pemuda bukan hanya tentang sejarah, tapi tentang cara kita bersikap hari ini. Ketika kita menahan diri untuk tidak ikut menyebar hoaks, saat kita menghargai perbedaan pendapat, dan ketika kita saling mendukung sesama kreator muda di situlah semangat Sumpah Pemuda hidup kembali.

Hal yang bisa kita lakukan :

  • Menggunakan media sosial untuk hal positif.
  • Berkolaborasi lintas daerah tanpa memandang latar belakang.
  • Mengangkat isu lokal agar dikenal luas.
  • Menyebarkan informasi baik dari sumber terpercaya, seperti https://dlhdkijakarta.id, agar orang lain ikut peduli pada kebaikan bersama.

Pemuda masa kini tidak perlu berjuang dengan bambu runcing, tapi dengan pena, kamera, kode, dan ide. Dunia digital memberi ruang luas bagi kreativitas, asalkan tetap dilandasi dengan rasa persatuan dan tanggung jawab. Literasi Digital dapat kita terapkan.

Menyalakan Api Semangat 1928

Semangat 1928 adalah api yang tak boleh padam. Ia mungkin tidak lagi berkobar di lapangan kongres, tapi kini menyala di setiap layar gawai, di setiap unggahan yang membawa makna. Ketika seorang emuda menulis tentang kebaikan, berbagi ilmu, atau membuat karya yang menginspirasi orang lain, itu adalah bentuk perjuangan baru.

Jadi, memaknai Sumpah Pemuda di era digital bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga menegaskan peran kita hari ini. Bahwa di tengah derasnya arus informasi, kita tetap satu: satu tekad untuk menjaga persatuan dan menebar manfaat bagi sesama.

Perjuangan para pemuda 1928 telah memberi kita dasar yang kuat: Indonesia yang bersatu. Sekarang, giliran kita, generasi digital untuk menjaga agar nilai itu tidak luntur. Mari gunakan teknologi bukan untuk memecah, tapi untuk menyatukan. Karena dari jari-jari kita, dari setiap kata yang kita tulis, masa depan bangsa ikut terbentuk.

Munasya

Blogger, Writer and Teacher Contact Person : email : sy4r0h@gmail.com Twitter : @Munasyaroh_fadh IG. : @Muns_Fadh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Content is protected !!