Paribahasa air susu dibalas air tuba yang artinya kebaikan yang sudah dilakukan malah dibalas dengan kejahatan tidak hanya ada di sebuah cerita Fiksi di sinetron atau drama. Namun di kehidupan nyata, peristiwa semacam ini sering kali terjadi di sekitar kita. Tak sedikit orang yang mengalami hal ini, namun karena ada banyak alasan sehingga jarang sekali yang mengekposnya.
Pada postingan kali ini saya akan menceritakan apa yang saya alami kala memberi air susu tapi dibalas air tuba. Postingan ini bukan untuk menyudutkan atau menjelek jelekkan oknum tertentu, namun hanya untuk pengingat bahwa saya pernah mengalami hal ini dan dapat dijadikan pembelajaran bagi orang lain. Perlu digaris bawahi bahwa tidak semua orang yang bercitra baik, perilakunya baik 100%. Sebaliknya tidak semua orang yang bercitra buruk perilakunya 100% buruk. Bisa jadi citra di depan hanya kedok untuk menutupi perilaku baik/buruk di belakang.
Awal mula cerita ini terjadi pada suatu malam setelah Isya. Saat itu tiba-tiba saja saya dipanggil Kepala Desa ke Balai Desa oleh salah satu staf desa, memang sih saya sudah sering ke Balai Desa untuk berbagai urusan tapi kalau dipanggil secara dadakan tentunya ada hal yang penting. Dengan rasa penasaran yang tinggi sayapun datang kesana.
Karena di Balai desa lagi ada rapat BPD bersama Bumdes, saya menunggu sebentar sampai Kepala Desa menemui saya secara pribadi. Pemimpin desa sebenarnya usianya gak jauh beda dengan saya, namun kala memimpin pemerintahan desa, dia sangat berwibawa san semua orang menaruh hormat pada saya.
Kepala Desa kemudian menemui saya dan langsung menjelaskan tujuannya memanggil saya secara dadakan. Kepala Desa meminta saya untuk mewakili pihak Desa mengikuti pelatihan pengelolaan perpustakaan desa. Ini merupakan salah satu program untuk mewujudkan Desa Pintar di Kabupaten Lamongan.
Berhubung background saya adalah penggerak literasi di desa, saya tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Pengalaman saya bertahun-tahun mengelola TBM Bintang Brilliant bisa menjadi titik awal dalam perintisan dan juga pengembangan perpustakaan desa tersebut. Saat itu saya sudah memiliki banyak gambaran untuk membuat perpustakaan desa.
Berbekal surat tugas yang dibuat secara dadakan di keesokan harinya, sayapun mengikuti pelatihan pengelolaan perpustakaan desa di Perpusda Lamongan. Pelatihan ini dilaksanakan 2 hari. Sebagian besar pelatihan dilaksanakan oleh perangkat desa, hanya beberapa orang saja yang bukan perangkat, salah satunya adalah saya. Alhamdulillah pelatihan berjalan dengan lancar dan menambah wawasan saya.
Pasca pelatihan sayapun melapor ke kepala desa di kantornya. Kala itu terjadi perbincangan seru mengenai berbagai persoalan di desa. Salah satunya adalah mengenai perpustakaan desa ini. Pada kesempatan itu kepala desa secara resmi mendelegasikan pengelolaan perpustakaan desa pada saya. Mengenai biaya dan lainnya diserahkan sepenuhnya pada saya. Secara jelas kepala desa mengatakan bahwa nanti pihak desa akan mengganti biaya yang telah saya keluarkan. Pokoknya susun dulu sesuai dengan ketentuan, nanti tinggal laporan. Ini yang jadi patokan saya.
Oke lah…. Sayapun melaksanakan apa yang jadi kesepakatan kecil tersebut. Di antara aktivitas dan pekerjaan yang relatif padat, Saya menyempatkan diri untuk menyiapkan perpustakaan desa ini. Lokasi perpustakaan berada di Kantor PKK yang dekat dengan pasar desa tapi agak jauh dari Balai Desa. Dalam seminggu saya meluangkan waktu sehari buat mengurus perpustakaan. Kadang di hari Minggu, kadang di hari Jumat pokoknya sesempatnya saya.
Perpustakaan desa sudah memiliki modal sekitar seribu buku. Namun buku-buku ini dalam kondisi kotor karena tidak pernah disentuh dan juga belum memiliki perlengkapan sebagaimana mestinya. Bukunya masih polos dan tidak ada kode buku, stempel dan sebagainya. Perlengkapan lain-lain juga tidak ada sama sekali. Yang ada hanya rak buku dan buku-bukunya. Oleh karena itu masih perlu banyak sentuhan di sana sinj.
Supaya tidak terkesan memonopoli, saya menghubungi beberapa anak muda yang suka akan buku dan memiliki motivasi tinggi untuk kemajuan desa. Dari 10 orang yang saya hubungi, ada 2 orang yang siap membantu. Alhamdulillah beberapa pekerjaan terasa ringan dengan kehadiran mereka. Saya jadi punya teman untuk diskusi dan berkarya di perpustakaan desa. Untuk pendanaan pembelian alat dan perlengkapan saya ambil dari kantong pribadi. Pendanaan tersebut saya catat dengan harapan nantinya pihak desa akan menggantinya.
Beberapa anak SD dan remaja yang kebetulan lewat di depan perpustakaan desa kala melihat saya di dalam, biasanya mampir dan membantu membersihkan buku dan memberi identitas. Saya gak berani membuka perpustakaan secara resmi karena buku-buku yang ada belum diidentifikasi. Jadi kalau ada yang mau baca, ya harus baca disana saja tidak boleh di bawa pulang. Ketika ada kegiatan agustusan, Perpustakaan desa itu jadi base camp Karang Taruna juga. Lokasinya yang strategis membuat koordinasi lebih mudah. Berbagai atribut Karang Taruna disimpan sementara di Perpustakaan Desa.
Beberapa bulan kemudian, persiapan perpustakaan desa hampir selesai. Karena keuangan saya waktu itu sudah seret dan catatan pendanaan perpustakaan desa sudah lumayan besar (hampir 2 jutaan), sayapun berinisiatif meminta dana ke pihak desa. Sialnya waktu itu terjadi reformasi kepemimpinan. Kepala desa yang mendelegasikan ke saya sudah tidak menjabat dan diganti dengan pejabat sementara dari Kecamatan. Kepala desa sementara ini tentunya tidak tahu menahu dengan keuangan dan perjanjian tak tertulis dengan kepala desa sebelumnya.
Pj Kepala Desa hanya tahu ada perpustakaan desa tanpa tahu bagaimana proses pembentukannya. Pj Kepala Desa 2 kali datang ke lokasi untuk meninjau dan mengantarkan tamu ke perpustakaan desa yang saya kelola. Sementara Kepala Desa sebelumnya belum pernah sama sekali berkunjung dan melihat secara langsung.
Karena memang saat itu lagi butuh uang, saya meminta pada perangkat desa lain yang tahu posisi saya. Tapi jawabannya gak memuaskan. Saya disuruh menunggu Kepala Desa baru yang dilantik. Kepala Desa lama mencalonkan kembali dan terpilih dengan suara terbanyak. Saat itu belum pelantikan resmi. Nanti kalau sudah dilantik urusan bisa lancar. Okelah saya setuju dengan hal itu.
Kala menunggu pergantian pemimpin itu saya mulai jarang pergi ke Perpustakaan desa. Hanya kesana sesekali kalau benar-benar punya waktu luang untuk bersih-bersih. Untuk melanjutkan pengelolaannya butuh suntikan dana, jadi saya sengaja menghentikan pembelian perlengkapan karena emang keuangan pribadi terbatas.
Dua bulan pasca pelantikan Kepala Desa, saya masih belum sempat menemui Kepala Desa untuk membahas perpustakaan desa. Ketemu cuma say hello doang gak bisa diskusi secara intens. Situasi politik desa masih belum memungkinkan, sehingga saya juga agak segan untuk berbicara macam-macam. Kepala desa yang baru dilantik ini adalah Kepala desa yang sama dengan sebelumnya memberikan tugas ke saya. Dia menjabat untuk 2 periode.
Selang 4 bulan pasca pelantikan, ketika lagi ke luar kota, saya melihat postingan salah satu anak buah kepala desa (bukan perangkat desa) yang memposting pojok baca di dekat rumahnya. Awalnya saya biasa saja melihat postingan tersebut, tapi setelah diperhatikan dengan seksama tiba-tiba ada rasa sakit hati yang mendera.Bagaimana tidak, ternyata rak dan buku yang dipajang adalah rak buku yang sebelumnya ada di perpustakaan desa.
Dari sebuah foto memang semua tempat baca terlihat sama, semua orang mengira kalau buku di pojok baca dan di perpustakaan desa adalah buku dan rak yang berbeda. Tapi bagi saya yang sudah lebih dari setahun merawat buku-buku ini tentu sangat mengenalinya. Yang di pajang adalah buku-buku yang sebelumnya ada di perpustakaan desa yang saya kelola. Pernak-pernik yang menempel di buku dan rak saya sendiri yang membuatnya.
Berhubung waktu itu saya masih di luar kota, saya menelepon 2 teman yang membantu saya di perpustakaan desa dan memegang kuncinya. Saya tanyakan apakah ada yang pamit atau menghubungi mereka untuk memindahkan koleksi perpustakaan desa ke pojok baca. Jawaban mereka sungguh mencengangkan, ternyata tidak ada yang menghubungi, mereka juga sama kagetnya dengan saya kala saya beritahu. Dari sini, rasa jengkel dan marah mulai merubungi. Tapi masih positif thinking barangkali hanya sebagian kecil saja yang diambil untuk persyaratan formalitas.
Rasa sakit hati mencapai puncaknya manakala saya pulang dan membuka perpustakaan. Disana sudah kosong melompong tidak ada isinya sama sekali. Bukan hanya rak dan buku yang diambil, tapi barang-barang milik Karang Taruna dan juga berbagai barang punyaku pribadi juga gak ada.
Saat balik pulang ke #Desaku langsung cek ruangan yg biasanya aq kelola. Ternyata eh ternyata isinya sudah raib semua. Emang ini aset desa, tapi printilan isi didalamnya aq beli dari uangku pribadi. pic.twitter.com/ukH2zCfeTc
— Munasyaroh Fadhilah (@Munasyaroh_Fadh) February 25, 2020
Saya mulai menghubungi beberapa orang untuk meminta pendapat mengenai masalah ini. Mereka adalah teman-teman di desa yang sedikit paham dengan politik desa. Saya gak mau gegabah melakukan hal bodoh yang nantinya akan merugikan diri sendiri. Saya mencoba untuk tenang dan menahan emosi.
Sampai akhirnya sayapun menghubungi Kepala Desa untuk meminta penjelasan karena dari awal dia yang memberi kewenangan pada saya. Menurut 2 orang yang saya hubungi sebelumnya, pendirian pojok baca ini atas perintah Kepala Desa. Ketika saya hubungi lewat WA, kepala desa bilang kalau dia sama sekali tidak tahu menahu masalah tersebut, dia hanya memberi instruksi pada anak buahnya untuk mendirikan pojok baca di RT tanpa sekalipun menyuruh mengosongkan perpustakaan desa. Kejadian ini sama sekali tidak diketahuinya.
Karena waktu itu saya emosi, segala sesuatu yang ada di hati saya tulis semua di WA. saya juga mengirimkan perincian pendanaan yang sudah saya keluarkan. Kepala desa malah santai menjawab, nanti akan menghubungi orang yang mengurus pojok baca tersebut.
Selang beberapa lama, yang mengurus pojok baca menghubungi saya dengan pertanyaan yang lucu. Bisa diliat dalam SS di bawah.
Setelah mengirimkan WA tersebut, oknum ini tidak melakukan apa-apa. Tidak juga datang ke rumah atau langsung menelepon. Saya sengaja gak balas karena sudah benar-benar sakit hati. Saya juga ingin melihat bagaimana itikad baik yang ada di dalam dirinya. Ternyata eh ternyata itikad baik tersebut tidak ada sama sekali.
Sebenarnya saya sendiri tidak masalah jika isi perpustakaan desa yang sebelumnya saya kelola di pindahkan ke pojok baca. Tapi setidaknya ada unggah ungguh dengan bilang sebelumnya. Mengingat saya sudah berkorban waktu, tenaga, pikiran dan dana selama ini. Kalaupun tidak bisa menemui secara langsung, minimal menghubungi via WA atau telepon. Tidak seperti ini yang terkesan sembunyi-sembunyi dan berperilaku seperti pencuri.
Kalau diminta dengan baik-baik saya akan memberikan dengan sukarela dan memberi tambahan pengetahuan mengenai pengelolaannya. Saya sendiri sudah punya Taman Baca yang relatif ramai, jadi kalau ada yang pegang perpustakaan desa atau pojok baca saya malah senang. Tujuan mencerdaskan anak bangsa lewat literasi bisa lebih mudah diwujudkan. Kalau ada itikad baik pastinya tidak ada rasa sakit hati yang menghampiri.
Rasa sakit hati makin menjadi kala ada yang bilang bahwa saya mengambil aset Perpustakaan Desa untuk digunakan di lembaga TBM Bintang Brilliant yang saya kelola, mangkanya semua langsung diamankan dan dipindahkan supaya tidak saya manfaatkan. Ini sih seperti lempar batu sembunyi tangan. Para oknum yang terlibat tidak mau disalahkan dan cenderung mencari jalan aman.
Setahun lebih pasca pembobolan perpustakaan desa, tidak ada kelanjutan sama sekali mengenai hal ini. Baik kepala desa maupun anak buahnya tidak ada yang datang untuk klarifikasi. Justru makin banyak fitnah yang bertebaran yang saya terima. Dana yang saya keluarkan juga tidak ada yang mengganti. Perpustakaan desa mati, Pojok baca juga gak jalan sama sekali.
Sekarang saya berusaha ikhlas, biarlah semua berlalu menjadi kisah tersendiri yang menjadi sejarah. Jejak-jejak digital menjadi bukti bahwa perilaku air susu dibalas air tuba itu nyata adanya.
Mbak, bacanya kok aku melu mangkel ya… :)) Kalau aku gak usah pakai w.a tak parani pak kades’e, sak perangkat yang ngurusi, tak bikin ramai. duh susah ilang ternyata darah surabaya yang terlanjur mengalir. Wis gpp mbak, Gusti Allah mboten sare. Mugi berbalas berkali-kali lipat kebaikan untuk mbak Mun ya. Ikhlas… ikhlas…
Kalau datang langsung aq takut gak bisa kontrol emosi, entar malah timbul banyak masalah. Lidah itu tidak bertulang, apa yang diomongkan sekarang bisa beda dengan sebelumnya atau di kemudian hari.
Dengan WA setidaknya bisa jadi bukti