Mengenal Tradisi Pelandang, Sarapan Bersama di Hari H Hajatan

Setelah sebelumnya saya menulis tentang tradisi Ngaturi, satu lagi rangkaian budaya sebelum hajatan yang tidak pernah absen di Desa Pucangro adalah Pelandang. Tradisi ini terlihat sederhana, hanya sarapan bersama di pagi hari, tetapi makna sosial dan kebersamaannya jauh lebih kuat dari yang terlihat. Bahkan, banyak warga percaya bahwa tanpa Pelandang, hajatan terasa seperti ada yang kurang.

Tradisi Pelandang

Pagi Buta Sudah Beraktivitas, Mulainya Pelandang

Pelandang dilakukan tepat di hari H hajatan, biasanya sekitar pukul enam pagi. Ketika matahari baru menampakkan cahaya lembutnya, para lelaki di Desa Pucangro justru sudah bergegas menuju rumah pemilik hajat. Mereka datang tanpa undangan resmi, karena Pelandang sudah dipahami sebagai bagian tak terpisahkan setiap kali ada acara besar seperti pernikahan, khitanan, atau selamatan lainnya. Jika merasa kenal dekat atau masih ada unsur kekerabatan, Pelandang wajib dilaksanakan.

Pemandangan pagi itu pun selalu sama. Para lelaki duduk di area terob atau rumah, saling menyapa, sambil menunggu hidangan sarapan disajikan. Menu Pelandang di Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan sangat khas, tidak akan dijumpai di daerah lainnya. Menunya yaitu nasi dengan bumbu lodeh, rempeyek (peyek), dan teh hangat.  Yang tidak boleh dilupakan adalah Cabuk, sebagai menu khas hajatan

Cabuk yang disiapkan biasanya sudah dibuat sejak sehari sebelumnya agar rasanya lebih meresap. Justru kesederhanaan menu inilah yang membuat tradisi ini terasa istimewa, karena ia menunjukkan kedekatan warga dalam hal-hal yang tidak dibuat-buat.

Di tengah berkembangnya budaya modern, kebiasaan ini tetap bertahan dan hidup. Di beberapa artikel mengenai kearifan lokal seperti yang dimuat di https://dlhkabbanyumas.org/, tradisi sederhana semacam ini sering disebut sebagai penopang kuat hubungan sosial masyarakat desa yang masih memegang nilai gotong royong.

Setoran Rp10.000 yang Mengandung Filosofi Kebersamaan

Satu hal menarik dari Pelandang adalah adanya setoran uang dari setiap lelaki yang ikut sarapan. Nilainya selalu berubah sesuai inflasi. Dulu hanya 2sd 5 ribu. Namun sekarang ini Rp. 10.000,-. Uang ini bukan iuran wajib, tetapi bentuk partisipasi sukarela yang sudah menjadi kesepakatan tak tertulis. Dana yang terkumpul diberikan kepada orang yang:

  • memasak air untuk keperluan hajatan, dan
  • orang yang bertugas mencuci piring selama acara berlangsung.

Jika ternyata uang yang terkumpul tidak mencukupi, pemilik hajat akan menambahkan kekurangannya. Namun jika dana cukup atau bahkan berlebih, maka tidak perlu ada tambahan apa pun dari tuan rumah. Sistem ini menunjukkan betapa masyarakat Pucangro memiliki mekanisme sosial yang rapi meskipun tidak terikat aturan formal.

Besarnya setoran bisa berubah mengikuti inflasi atau kondisi ekonomi desa. Tetapi semangatnya tetap sama: membantu meringankan beban pemilik hajat dan memastikan bahwa semua pihak yang membantu dihargai jerih payahnya.

Tidak hanya itu, jumlah lelaki yang datang saat Pelandang biasanya dianggap sebagai salah satu indikator kemeriahan hajatan. Semakin banyak yang ikut sarapan, semakin dianggap sukses hajatan tersebut. Ini membuat suasana Pelandang tidak hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol dukungan dari warga.

Lebih dari Sarapan, Ajang Silaturahmi dan Bertukar Cerita

Meski terlihat sederhana, Pelandang memegang fungsi sosial yang besar. Kehadiran para lelaki membuat pagi hajatan berubah menjadi ajang silaturahmi. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan momen ini untuk saling bertanya kabar, berbagi cerita pekerjaan, berdiskusi tentang kegiatan desa, hingga bercanda ringan yang membuat suasana cair dan hangat.

Tradisi seperti ini sangat berharga, terutama di era sekarang ketika interaksi sosial banyak tergantikan oleh teknologi. Aktivitas berkumpul secara fisik, dengan makanan sederhana dan obrolan spontan, menjadi penguat hubungan antarwarga. Nilai-nilai seperti inilah yang sering disebut dalam kajian budaya dan lingkungan seperti yang dibahas di https://dlhkabbanyumas.org/, yaitu bahwa kebiasaan turun-temurun dapat memperkuat solidaritas masyarakat desa.

Dalam Pelandang, tak ada sekat antara warga yang tua maupun yang muda. Semua duduk bersama dan berbagi cerita. Bahkan kadang, anak-anak lelaki yang sudah remaja ikut bergabung untuk belajar bagaimana tradisi ini berjalan. Ini juga menjadi proses pewarisan budaya yang sangat alami.

Setelah Sarapan, Lanjut Gotong Royong

Selesai sarapan, kegiatan tidak lantas berakhir. Para lelaki biasanya justru mulai bergerak membantu persiapan hajatan. Mereka menyebarkan kursi, mengatur meja, memeriksa tenda, membantu ibu-ibu di dapur, atau mengangkat peralatan memasak yang berat.

Semua dilakukan bersama-sama tanpa komando resmi. Ada yang suka mengurus bagian tenda, ada yang lebih sigap membantu di bagian dapur, ada pula yang menjaga kebersihan halaman. Mereka sudah paham tugasnya masing-masing karena tradisi ini dilakukan berulang-ulang dalam setiap hajatan.

Inilah esensi gotong royong yang sebenarnya: bekerja tanpa pamrih, bersama-sama, demi kelancaran acara warga lain. Keluarga yang punya hajat pun merasa lebih ringan karena dibantu banyak pihak, sementara warga yang datang merasa memiliki peran penting dalam suksesnya acara.

Tradisi yang Bertahan dari Generasi ke Generasi

Dalam arus modernisasi, banyak tradisi lokal yang perlahan memudar. Namun Pelandang justru bertahan kuat karena fungsi sosialnya sangat relevan. Ia tidak hanya menjadi bagian dari rangkaian hajatan, tetapi juga ruang interaksi sosial yang jarang ditemukan dalam aktivitas sehari-hari.

Anak-anak di desa ini tumbuh dengan melihat ayah atau kakeknya ikut Pelandang. Mereka menyerap nilai kebersamaan tanpa perlu ceramah. Ketika dewasa, mereka meneruskan tradisi yang sama. Inilah yang membuat Pelandang tetap hidup: ia diwariskan melalui pengalaman, bukan hanya cerita.

Lebih dari sekadar acara sarapan, Pelandang merupakan identitas sosial masyarakat Desa Pucangro. Tradisi ini menggambarkan bahwa kebersamaan adalah fondasi kehidupan warga. Setiap orang merasa menjadi bagian dari hajatan, bukan hanya penonton atau tamu.

Ketika suatu budaya memberi manfaat nyata, baik secara emosional maupun sosial budaya itu akan terus dipertahankan. Dan Pelandang adalah salah satu contohnya.

Munasya

Blogger, Writer and Teacher Contact Person : email : sy4r0h@gmail.com Twitter : @Munasyaroh_fadh IG. : @Muns_Fadh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Content is protected !!