Stigma Kusta dan Pencegahan Disabilitas Kusta di Lapangan – Kuata merupakan penyakit legendaris yang sudah ada sejak dahulu kala. Walaupun sekarang obatnya sudah ditemukan, namun penyakit kusta masih tetap bermunculan. Penyakit yang disebabkan oleh kuman ini tak jarang membuat penderitanya mengalami disabilitas atau cacat tubuh. Tempat bersarangnya kusta akan menggerogoti bagian tubuh penderitanya dan menyebabkan kerusakan permanen.
Hingga saat ini, penderita kusta dan juga para penyandang disabilitas yang disebabkan oleh kusta, masih menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Stigma negatif yang menempel pada penderita kusta membuat ruang gerak mereka terbatas dan seolah disingkirkan dari pergaulan masyarakat.
Salah satu kesulitan dan tantangan yang dihadapi para penderita kusta adalah minimnya informasi tentang tata cara perawatan dan penanganan penyakit serta juga akses terhadap layanan kesehatan yang layak. Di Lapangan banyak ditemukan unit layanan kesehatan yang kurang memahami informasi terkait kusta. Kalangan tenaga kesehatan sendiri juga masih ada yang percaya dengan stigma negatif penyakit kusta.
Akibatnya banyak pasien Kusta yang tidak mendapatkan perawatan kesehatan segera dan menyebabkan disabilitas. Disamping itu, karena tidak adanya pengobatan, pasien kusta dapat menularkan bakteri kusta di lingkungan sekitarnya. Akibatnya makin banyak orang yang terkena kusta.
Menanggapi akan hal itu, Ruang Publik KBR mengadakan Talkshow edukasi Kusta dengan isu utama Dinamika Perawatan diri dan Pencegahan Disabilitas Kusta di Lapangan.
Talkshow yang disiarkan secara langsung lewat Kanal YouTube Berita KBR dan dipancarkan lewat Jaringan Radio KBR tersebut menghadirkan narasumber dr. M Riby Machmoed MPH -selaku Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia dan Sierli Natar,S.Kep selaku Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar
Stigma Pasien Kusta
Berdasarkan pemaparan dari Dr M Riby, stigma pada pasien kusta mengarah pada 4 hal yakni :
1. Stigma pada orang yang terkena kusta sendiri
Penderita kusta umumnya malu dengan penyakitnya karena dianggap penyakit tabu. Penderita sangat berkecil hati dan malu untuk keluar rumah. Dia enggan untuk berinteraksi dengan orang lain karena penyakitnya tersebut.
2. Stigma dalam keluarga
Penyakit kusta pada sebagian orang dianggap sebagai penyakitk utukan atau terjadi karena azab. Keluarga penderita ikutan malu dan tidak mensuport anggota keluarga yang terkena kusta.
3. Stigma di masyarakat
Pada masyarakat sendiri terdapat stigma bahwa kusta adalah penyakit menular yang tidak bisa diobati. Padahal obatnya sekarang sudah ada.
4. Stigma di Tenaga Kesehatan
Bukan hanya masyarakat umum saja yang takut dengan pasien kusta, di kalangan tenaga kesehatan sendiri masih banyak yang takut mengobati. Perlu diketahui bahwa cacat dari penderita kusta tidak bisa hilang, cacat ini akan dibawa seumur hidup. Ini lah problema yang dihadapi masyarakat saat ini.
Secara global penderita kusta di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data tahun 2019, angka kasusnya mencapai 19.900 orang. Tahun 2020, angka kasusnya menjadi 13.180. Angka cacat dari 4,18 per 1 juta penduduk di tahun 2019 turun menjadi 2,13 per 1 juta penduduk di tahun 2020.
Provinsi Jawa Timur, memiliki kasus kusta tertinggi disusul Jabar dengan 1.845 kasus. Kemudian Papua dengan 1.200, Jawa Tengah 1.100 kasus dan Papua Barat 902 Kasus. Indonesia terus melakukan berbagai upaya untuk mengeliminasi penyakit kusta sehingga tidak menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Upaya pemerintah Indonesia sejalan dengan WHO yang menargetkan tidak ada lagi pengakit kusta pada tahun 2030 dan seterusnya.
Pencegahan Disabilitas Kusta di Lapangan
Ibu Shierly Natar, SKep dari Dinas Kesehatan Kota Makassar dalam pemaparannya menyatakan bahwa terdapat tantangan di lapangan dalam penanganan kusta. Tantangan tersebut adalah rasa malu yang menghinggapi pasien sehingga mereka enggan untuk berobat atau memunculkan diri.
Disinilah tugas tenaga kesehatan diperlukan. Mereka harus melakukan pendampingan kepada penderita kusta dan keluarga. Tugas nakes juga memberikan edukasi serta motivasi terhadap masyarakat.
Para nakes harus bisa memberikan pemahaman bahwasanya penyakit kusta itu bisa disembuhkan dengan pengobatan teratur. Penderita penyakit kusta akan mengalami disabilitas atau cacat jika tidak mendapatkan pengobatan secara cepat dan benar. Obat kusta telah disediakan secara gratis sehingga tidak perlu khawatir dengan pembiayaan pengobatannya.
Penyakit kusta ini kemungkinan bisa muncul akibat kontak dengan penderita lama yang tidak diobati dan baru terasa dampaknya sekarang. Sehingga lama kelamaan akan banyak yang tertular. Pendampingan secara tekun dan sabar akan membuat penderita lebih percaya diri dan memiliki motivasi untuk sembuh.
Pengobatan kusta yang harus dilakukan setiap hari tentunya membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Termasuk tenaga kesehatan yang mendampingi. Pelayanan yang disamakan dengan pasien penyakit lain akan membuat penderita kusta jadi lebih semangat dalam berobat.
Supaya penderita kusta tidak mengalami kecacatan yang lebih parah, ada berbagai upaya mandiri yang bisa dilakukan. Upaya itu menekankan pada deteksi dini dengan melakukan hal berikut :
1. Memeriksakan diri
Jika ada tanda tanda penyakit kusta seperti bercak putih dan kemerahan pada kulit tapi tidak gatal dan tidak sakit, harus segera memeriksakan diri. Apalagi jika bercak tersebut diikuti dengan kelemahan jari tangan, jari kaki dan ada kesulitan menutup kelopak mata maka harus cepat cepat ke puskesmas tanpa perlu ditunda lagi.
Semakin cepat kusta terdeteksi, semakin cepat dapat disembuhkan sehingga disabilitas dapat dihindari.
2. Merawat bila ada kelainan
Apabila kusta sudah terdeteksi dan terdapat kelainan, upaya mandiri bisa dilakukan dengan merendam menggunakan air biasa. Lalu bagian yang kebas digosok menggunakan batu apung supaya penebalan berkurang dan dioleskan dengan minyak kelapa. Jika timbul bercak luka, bisa ditutupi dengan menggunakan kain perca. Jangan lupa istirahat dengan cukup.
Rutintas perawatan dan penanganan ini dilakukan setiap hari supaya tidak mengalami kecacatan karena kusta.
3. Melindungi dengan menangani pasien
Meskipun pasien kusta sudah selesai minum obat dan dinyatakan sembuh, pasien kusta masih memiliki resiko disabilitas. Oleh karena itu selama pengobatan, diharapkan tetap melakukan pemeriksaan dengan petugas kesehatan. Setelah selesai pengobatan, pasien harus tetap rajin memeriksakan fungsi syaraf mereka setiap 3 bulan sekali dalam kurun waktu 2 hingga 5 Tahun supaya terhindar dari disabilitas kusta.
Mari putuskan rantai penularan kusta dengan menyebarkan informasi yang benar tentang penyakit kusta. Jangan tambahi beban pikiran pasien dengan stigma buruk yang tidak terbukti kebenarannya.