Pada pelajaran Sains atau IPA yang dipelajari dulu, Musim Hujan itu datangnya di Bulan Oktober hingga Maret, Bulan April hingga September adalah waktunya musim kemarau. Pola Adaptasi masyarakat telah berubah. Bulan April tahun ini ternyata hujan masih saja turun. Bahkan intensitasnya lebih sering dibandingkan bulan Desember dan Januari. Akibatnya masih terdengar banyak kabar bencana banjir yang melanda berbagai daerah.
Mungkin karena bumi yang sudah tua atau perilaku manusia yang sudah tidak mencintai lingkungannya sehingga musim atau cuaca tidak dapat diprediksi. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya dalam Permasalahan Banjir Di Desa Pucangro di sebutkan bahwasanya Desa tersebut (yang merupakan tempat domisili saya) sudah menjadi langganan banjir kala musim hujan.
Masyarakat di desa saya yakni Desa Pucangro Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan secara tidak langsung sudah dapat memprediksi kapan datangnya banjir. Hal itu dapat dilihat dari intensitas hujan yang terus menerus.
Karena sudah langganan dan tak dapat dihindari, masyarakat sudah menyiapkan segala sesuatunya. Berbekal pengalaman berpuluh-puluh tahun menghadapi banjir, masyarakat telah memiliki pola, cara dan strategi tersendiri dalam menyambut musim hujan yang diiringi banjir sesudahnya.
pola adaptasi masyarakat menghadapi banjir
Berikut ini adalah beberapa pola adaptasi masyarakat menghadapi bencana banjir di desa yang terjadi tiap tahun. Pola-pola yang disajikan ini berdasarkan pengamatan pribadi dan secara langsung hidup di wilayah tersebut.
1. Menyiapkan Rumah Pompa
Sebagai antisipasi banjir yang selalu melanda, masyarakat desa saya sudah menyiapkan rumah pompa untuk mengurangi wilayah yang terkena air. Rumah pompa ini difasilitasi oleh pemerintah desa dan dibentuk satgas yang mengurusinya. Saluran penghubung antar sungai dan antar wilayah juga dibuat untuk memperlancar aliran air. Dalam pengoperasiannya ada satgas khusus yang mengatur supaya tidak terjadi konflik. Biaya Pengoperasian didapat dari hasil swadaya masyarakat.
Saat hujan mulai turun dan air menggenang dimana-mana. Pompa-pompa air mulai dihidupkan untuk menyedot air di kawasan pemukiman penduduk melalui saluran air yang dibuat. Air yang disedot dari pemukiman penduduk tersebut kemudian diarahkan ke areal rawa dan juga persawahan.
Meskipun hal ini tidak mengurangi volume air secara keseluruhan dan tidak bisa mencegah kerugian yang timbul dari bencana banjir yang terlanjur melanda di pemukiman, namun setidaknya sudah berhasil membuat kawasan pemukiman penduduk tidak terendam banjir terlalu lama. Pengoperasian rumah pompa sifatnya hanya memindahkan genangan air saja. Air yang berada di pemukiman dipindahkan ke sawah, rawa dan sungai di luar batas desa.
Kekurangan dari pola adaptasi semacam ini terletak pada biaya yang dibutuhkan. Semakin tinggi volume hujan yang turun, semakin sering pompa-pompa air tersebut dioperasikan. Hal itu tentunya membuat pembiayaan makin mahal dan nominal swadaya masyarakat juga semakin besar karena pengoperasian pompa membutuhkan bahan bakar yang harganya relatif mahal. Mungkin kedepannya perlu digunakan sumber energi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak supaya biayanya bisa ditekan.
2. Meninggikan Bangunan Rumah
Banjir oleh masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang sudah biasa terjadi. Oleh karena itu, meski banjir berbulan-bulan terjadi mereka tidak pernah ingin berpindah tempat atau mengungsi untuk sementara waktu. Terjadinya serangkaian banjir yang melanda tiap tahun pastinya selalu membawa konsekuensi yang merugikan masyarakat. Walaupun sudah diantisipasi sedemikian rupa, namun tetap selalu membawa dampak buruk terutama pada pemukiman masyarakat.
Salah satu pola adaptasi masyarakat menghadapi banjir adalah dengan meninggikan bangunan rumahnya. Rumah-rumah banyak yang dibangun dengan pondasi yang lebih tinggi daripada jalanan. Hal itu bertujuan supaya air hujan yang datang terus menerus dan membawa banjir tidak sampai masuk kedalam rumah. Airnya cukup menggenangi pelataran dan jalan-jalan saja, tidak bisa masuk kedalam rumah.
Jadi jangan heran jika masuk kawasan desa ini, anda akan melihat rumah penduduk yang dibangun lebih tinggi dari jalan. Area pasar lokal yang diberi nama Pasar Wage Desa Pucangro juga hampir sama.
3. Membangun Tanggul Darurat Mengelilingi Desa
Selain mengoperasikan pompa-pompa air dan meninggikan rumah, pola adaptasi masyarakat lainnya dalam menghadapi banjir adalah dengan membangun tanggul-tanggul darurat mengelilingi desa. Jika volume air sudah terlalu banyak dan sungai, rawa atau sawah tidak bisa lagi menampung banyaknya air, maka pembuatan tanggul darurat menjadi langkah berikutnya untuk membebaskan pemukiman penduduk dari bencana banjir.
Tanggul-tanggul tersebut dibuat dengan menggunakan karung yang diisi tanah bercampur pasir dan ditempatkan di sepanjang batas pemukiman dan sungai. Karung-karung tersebut ditempatkan berjajar sepanjang batas pinggiran desa dan bertumpuk-tumpuk mengikuti ketinggian air.
Jika dilihat dari ketinggian, pemandangan desa saya saat terkena banjir seperti mangkuk yang mengapung di atas air. Dimana daerah pinggirannya penuh dengan air, sementara daerah tengah yang merupakan pemukiman yang dihuni masyarakat berupa tanah/daratan tanpa air.
Pembangunan tanggul darurat ini sifatnya tidak permanen. Dibuat secara swadaya dengan semangat gotong-royong. Saat air sudah terlihat naik dan luapannya tidak tertampung lagi, pihak aparatur desa akan memberikan intruksi melalui pengeras suara untuk membangun tanggul-tanggul yang diperlukan.
Pembagian tugas dan wilayah pembuatan tanggul juga sudah diatur. Setiap kelompok warga masyarakat memiliki tanggung jawab dan tugas masing-masing. Biasanya pembagian kelompok pembuatan tanggul berdasarkan RT dan RW masing-masing.
Jika air sudah terlihat surut dan musim hujan sudah berakhir, tanggul-tanggul darurat ini sudah tidak diperlukan lagi dan akhirnya dibongkar.
4. Pertanian Sawah Tambak
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah petani. Areal persawahan menjadi tempat untuk mengais rejeki setiap hari. Ketika area persawahan terendam banjir, masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani mempunyai cara tersendiri dalam bertahan di tengah kondisi yang kurang menguntungkan tersebut. Salah satunya adalah memanfaatkan lahan pertanian menjadi sawah tambak.
Sejak tahun 1960an, lahan sawah pertanian masyarakat sudah diubah sedemikian rupa menjadi sawah tambak dengan pematang yang lebih ditinggikan. Sawah yang awalnya hanya menghasilkan hasil pertanian berupa padi dan jagung, sekarang ini dimanfaatkan pula untuk usaha perikanan atau pertambakan saat musim hujan mulai datang.
Pada saat musim hujan, tidak ada lagi orang yang menanam padi karena pada musim itu adalah masa untuk tanam ikan. Lahan pertanian sudah berubah menjadi pertambakan yang penuh air. Hasil sawah tambaknya berupa ikan bandeng, ikan nila, Udang Vanami, Ikan tombro dan lain sebagainya.
Berbagai pola adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana banjir tahunan seperti yang disampaikan diatas merupakan salah satu usaha masyarakat dalam bertahan hidup di areal rawan bencana. Tak dapat dipungkiri pola adaptasi saja tidaklah cukup dalam mencegah dampak dan kerugian yang timbul kala banjir melanda. Jika bisa memilih tentu semua orang tidak akan ingin terkena banjir, apalagi kalau hampir setiap tahun. Namun karena berbagai faktor, mau tidak mau akhirnya harus bisa menerimanya.